Tuesday, October 28, 2008

Asam urat kumat ?

Alhamdulillah, saya jadi punya resep yang lumayan bagus untuk mengatasi penyakit yang satu ini. Sudah 3 kali saya rasakan manfaatnya ramuan ini dan hasilnya cukup cepet dirasakan. ALLAH telah menyembuhkan saya melalui resep atau ramuan ini dengan cepat. Kurang lebih 2 atau 3 hari keluhan hilang dan sudah bisa beraktivitas lagi dengan baik, rasa sakit yang mengganggu hilang tanpa terasa, tahu-tahu saya sudah dengan mudah melakukan apa yang saya mau tanpa sadar. Begitu sadar, oh .... saya sudah sembuh? Alhamdulillah...........

Ceritanya (keluhan kumat) yang terakhir begini :

Waktu lebaran kemarin 2008 /1429 H, kita pergi ikut nyesekin jalanan, kita pergi ke Ciamis dan lanjut ke Klaten. Sampai di Purwokerto, selepas Jum’atan istirahat dulu sambil makan di rumah makan. Padahal saya tahu bahwa makan tahu itu jika terlalu banyak akan bermasalah untuk saya. Dalam catatan yang diberikan dokter ke saya, maksimum hanya 50 gram jatah tahu yang boleh saya makan sehari! Itu berarti hanya sepotong kan ? Nah, karena suasana lebaran dan tahu itu dimasaknya menimbulkan selera, lupa tuh larangan itu. Cuman 4 sih padahal, tapi ya itu, sampai di sekitar Jogja mulai terasa menyerang. Sikut tangan kanan mulai sakit kalau digerakkan, di bengkokkan lebih tepatnya. Dalam hati bertanya, kenapa ini ? Belum ingat kalau sebelumnya makan tahu kebanyakan. Lama-lama rasa sakit mulai makin terasa. Tangan kanan ini, kalau lepas dari stir mobil, sudah sulit untuk diangkat lagi untuk pegang stir, sakit sekali.......
Akhirnya, sampai di Klaten, stir mobil tinggal pake tangan kiri saja, jadinya jalannya pelan. Sampai di rumah, ada rasa lega juga bahwa saya telah sampai tujuan dengan selamat, walaupun ujung-ujungnya saya tidak bisa ngapa-ngapin karena sakit tangan itu. Walhasil, 2 hari di Klaten nggak kemana-mana, tunggu rumah saja karena tangan kanan itu sakit sekali.

Begitu sampai di Klaten, istri langsung telepon kakaknya yang tinggal di Jatibarang, dia minta resep bagaimana menolong kondisi seperti itu. Dia menyebutkan resep itu dan saya ingat, itu kan resep yang biasa saya pakai kemarin-kemarin kalau kumat. Ya, karena sedikit panik jadi lupa sama itu resep. Maklum, kalau saya keterusan sakitnya, bagaimana pulang ?

Ramuannya begini, nggak sulit atau menjelimet, cukup :

1 ruas jempol tangan temulawak
1 ruas jempol tangan jahe merah
Separo apel fuji (maksudnya satu apel dibagi dua)
1 sendok makan madu

Cara membuatnya adalah dengan cara di blender ketiganya dengan dicampur air sedikit, ingat, apelnya jangan dikupas, di blender berikut kulitnya. Setelah selesai, baru madu ditambahkan dan aduk sampai rata. Minum saat itu juga, sedapat mungkin jangan dibiarkan lama terhidang baru kemudian diminum. Insya ALLAH, dalam waktu 2 hari dengan 3 x sehari akan ada perubahan yang menggembirakan.

Monday, October 27, 2008

Mudik lebaran episode 2

Ciamis - Purwokerto

Hari Jum’at, 3 Oktober 2008 adalah hari “bubaran” para kontingen. Kontingan Pondok Gede, Bintara Jaya, Karawang, Malang rencananya akan jalan pagi ini. Yang tinggal adalah kontingen dari Bambu Apus karena anak-anaknya masih ingin stay di Cintapalah.

Pagi-pagi buta, kontingen Karawang sudah siap berangkat, kulihat mobil Emma sudah siap saat aku, Ua Fe’i, Ua Muhyiddin dan Ua Munir pulang dari Masjid seusai shalat Subuh, untuk menghindari macet katanya setelah dapat info bahwa Nagreg macet se macet-macetnya sejak malam. Nggak tahu apa nekat atau apa boleh buat, Emma sama suaminya tetep pulangnya mau lewat Nagreg, mungkin ibarat rasa pasrah : apapun yang terjadi, pokoknya aku mau lewat Nagreg karena hanya itu yang kutahu. Jam 05:00 mereka berangkat. Pasrah, ini pula yang aku rasakan jauh sebelum Cipularang ada. Waktu itu dalam pikiranku kalau mau pulang ke Ciamis : pokoknya apapun yang terjadi, semacet apapun nantinya, kalau mudik ke Ciamis aku akan lewat Puncak! Lewat toll Cikampek aku rasakan agak lain, driving on this path is a little different compare to Jagorawi. Serasa kering, gersang gitu kalau lewat Cikampek, nggak tahu kenapa. Tapi perasaan itu lambat laun berubah setelah tahun 1998 kantorku pindah ke Cikarang, praktis tiap hari aku lewat situ yang pada akhirnya perasaan kering itu sedikit demi sedikit menghilang. Sekarang ini jalan toll ke Cikampek sudah jauh lebih nyaman, apalagi Jakarta - Cikarang, jalannya lebar walaupun semakin hari nyatanya kendaraan yang lewat situ bertambah terus. Setidaknya ada niat pemilik jalan toll untuk membuat para pengguna jasa merasa nyaman.

Setelah beres-beres apa-apa yang harus diberesin, kontingen Pondok Gede dan Bintara Jaya bubar barengan sekitar jam 07:30. Sewaktu beres-beres, aku mengalami kendala sedikit karena dompet kecil tempat kartu-kartuku tidak ditemukan. Penting banget itu, karena disitu disimpan 2 kartu kredit Citibank, 1 kartu kredit BCA, ATM BCA, kartu asuransi berobat AIA, kartu eazy pay Citibank, kartu member laboratorium Prodia dll. Yang paling penting sih kart ATM, kalau butuh uang nanti gimana semantara di dompet minim ? Ubek-ubekan dicari belum hasil sejak tahun tadi malam waktu mau ke rumah Bi Yayah. Diulang lagi ingatan, ngapain aja sejak kemarin, mana tahu aku lupa atau dompet itu tercecer tanpa sadar, tetap nggak ingat. Yang kuingat adalah, dua dompet itu disimpan diatas box dekat tempat tidur dan istriku merasa mengamankan itu karena letaknya deket sekali dengan jendela yang nakonya terbuka. Pasrah ? Jangan, ini harus ketemu! Nah, disaat-saat terakhir, dalam kepasrahan, aku coba buka kantong-kantong cover laptop, ALHAMDULILLAH, rupanya dia nongkrong disitu, rupanya aku (mungkin) lupa memasukkannya kesitu. Jadilah kita berangkat dengan tenang.

Berangkat pulang iring-iringan sama Xenia merah Ua Fe’i sampai di pertigaan jalan besar Cijantung, disini kita berpisah, Xenia ke kanan kita ke kiri karena kita mau lanjut ke Klaten. Ua Euis sama Ua Muhyiddin bareng kita sampai Majenang karena mau mampir di rumah Oyah, ada yang mau dibawa katanya, ikan gurame kalau tidak salah. Rencananya katanya mau pulang ke Malangnya hari Minggu dari Majenang, jadi masih ada waktu beberapa hari leha-leha disana.

Jalanan enak, sepi dan lancar. Suasana pagi yang cerah ikut membuat suasana hati jadi enteng dan enjoy. Aku yang tadinya waswas apakah bisa nyetir sendiri pake yang manual jadi heran sendiri, koq bisa ? Ya memang, setelah punya pengalaman lutut sakit nggak bisa dibengkokin akhir tahun lalu, aku jadi nggak bisa dan nggak berani bawa mobil dengan transmisi manual, kaki kiriku nggak nyanggup. Itupun dulu (mungkin) disebabkan pake Avanza yang manual, couplingnya keras sehingga menyebabkan kaki kiriku lututnya sakit. Bener-bener nggak bisa dipakai untuk injak coupling, sakitnya nggak tertahankan. Tapi menurut medis sih kayaknya asam urat yang lagi kumat. Waktu Ua Euis tanya, kira-kira berapa lama sampai di Majenang, kujawab sekitar 1 sampai 2 jam, tergantung kondisi lalulintasnya. Sebenernya jaraknya hanya sekitar 50 sampai 55 km ke Majenang dari Ciamis itu, tapi karena jalannya kecil dan cukup banyak kendaraan yang lewat, jarak tersebut harus ditempuh dalam waktu 1 sampai 2 jam.

Suasana sepanjang jalan yang dilewati masih nampak dalam suasana lebaran. Orang masih banyak yang bersilaturrahim ke para kerabatnya. Manusia banyak berderet di pinggir jalan, apalagi di tempat-tempat khusus pemberhentian mobil angkutan umum, mereka kayaknya mau bersilaturrahim ke tempat-tempat kerabatnya yang agak jauh, yang membutuhkan angkutan. Belum lagi mungkin yang akan pergi ke tempat-tempat rekreasi. Suasana hari ketiga lebaran masih terasa meriah. Itulah enaknya kita tinggal di Indonesia, di negara yang mayoritas beragama Islam. Kebetulan kita tinggal di daerah belahan bumi bagian timur yang rasa kebersamaan sesama warga sangat kental dan deket. Bandingkan dengan masyarakat Eropa atau Amerika, mereka sangat individualistis, lu lu gua gua. Di masyarakat kita, kenal nggak kenal, kalau ketemu mesti menyapa, setidaknya senyum. Senyum kan ibadah ? Belum lagi, anjuran agama yang harus senantiasa menyambung silaturrahim, ditambah budaya setempat, hal ini menambah rasa kekeluargaan yang kental . Itulah Islam, itulah Indonesia....

Sering baca di Internet mereka-meraka yang berada di negara-negara non muslim tentang rindunya mereka lebaran di tanah air, maksudnya disini, di Indonesia. Bagaimana ramahnya orang Indonesia, bagaimana meriahnya suasana lebaran,bagaimana tradisionalnya suasana. Ini yang bikin kangen katanya. Subhanallah....
Kembali ke jalan, seperti yang dibilang tadi, suasana lebaran masih terasa. Yang nampak menyolok di jalan adalah sepeda motor. Masya ALLAH...... kayak laron, banyak banget! Lagi asyiknya ngobrol, ada sms dari Emma, dia mengabarkan bahwa jalan ke Jakarta lancar banget, kosong katanya. Lho koq ? Yang macet itu ternyata arah ke Ciamis, bukan arah ke Jakarta, jadi ke Jakarta kosong melompong. Jam 09:30 katanya dia sudah sampe di rumah. Wah, lumayan banget, sementara si Ua pake jalan lewat Cikamurang karena kabar macet Nagreg itu. Tapi hikmahnya, si Ua bisa mampir di Talaga nengok Ua Cecep yang katanya sakit.

Soal mudik motor, dijalanan itu ada yang berombongan, ada yang mencar-mencar. Repotnya kalau kita mau nyusul, dari arah sebaliknya juga banyak itu yang namanya sepeda motor. Ya lucu, asyik, unik tapi ada juga rasa jengkel karena jadi terasa menghambat, belum lagi yang nyosor tanpa sopan, kadang-kadang kita dibuatnya repot. Kenapa dibilang unik, motor yang ikut meramaikan jalan karena lebaran, atau lebih tepatnya motor yang mudik lebaran, punya ciri khas. Yang gampang dilihat adalah tambahan kayu di belakang motor untuk nyimpen koper atau bawaan dalam bentuk kardus, kadang ada yang dibungkus plastik kardusnya, mungkin untuk menghindari basah karena hujan. Di jok belakang biasanya dempet istri sama anaknya. Kalau anaknya sudah besar setingkat SD, biasanya duduknya ngadep kedepan, tapi kalau masih kecil dalam gendongan, biasanya ngadep kebelakang ke ibunya sampil di bungkus kaen sarung untuk menghindari angin. Di depan sang ayah yang bawa motor, biasanya ada anak lagi yang duduk. Kalau motornya bebek mendingan bisa duduk agak rendah jadi nggak menghalangi pandangan sang ayah dari jalan, kalau motor biasa kan repot. Lucunya, anak yang didepan kadang kelihatan tidur dengan naro kepala di deket stang motor diganjel bantal. Kalau udah gini, apa sang ayah nggak kesulitan bawa motornya, jadi agak kaku gitu, misalnya kaku mau belok ? Seru, ngeri kadang lihatnya, tapi kelihatannya enjoy aja tuh. Itulah lebaran, itulah Indonesia.......

Setelah berjalan 1 jam lebih dikit, sampailah kita di Majenang. Ua Euis danm Ua Muhyiddin turun disini. Salam untuk Bi Oyah ya.....

Perjalanan dilanjutkan tinggal bertiga, istri, Enca dan aku. Tujuan berikutnya adalah Purwokerto, rumah kakaknya istri. Udah masuk tahun ke 3 atau 4 dia tinggal disitu. Dia buat radio FM disana dengan nama “Suara Purwokerto FM”. Karena memang didirikannya masih baru, jadi masih berkutat dengan kesulitan, belum lagi katanya pasar di Purwokerto tidak seperti pasar di wilayah lain ditambah dengan kondisi belanja iklan tahun 2008 ini yang sebahagian besar diambil media TV, repotnya lagi TV lokal sekarang sudah banyak, bahkan di Purwokerto sudah ada 2 dan tarif iklannya lebih murah dari radio. Gila kan, betapa sulitnya sekarang bisnis radio? Memang, kehidupan tambah sulit sekarang ini, apalagi ada krisi keuangan global yang dipicu dari kegagalan sistim kapitalis Amerika. Wah, kacau.....

Perjalanan ke Purwokerto bisa dikatakan aman dan lancar, sesuai perkiraan. Saat berangkat dari Ciamis, kita berharap Jum’atan sudah sampai di Purwokerto walaupun kita di jalan nggak ngebut. Dari yang sudah-sudah, perjalanan Ciamis – Purwokerto itu makan waktu antara 2 sampai 3 jam, jadi kalau berangkat jam 07:30 akan sampai di Purwokerto selambat-lambatnya jam 10:30, jadi sempat Jum’atan di Purwokerto.
Lancarnya jalan ke Purwokerto ikut membantu tercapainya target kesana. Sempet dijalan berenti dulu, minggir sebentar, jajan cendol dawet ayu, khas kebumen. Dari awal, kita mau coba lewat jalan lain ke Purwokerto-nya, masalahnya yang hanya kita tahu jalan ke Purwokerto itu masuk dari lampu merah di daerah mana itu, aku nggak tahu, pokoknya nantinya lewat gunung gunung yang dipinggir jalannya banyak orang yang mungutin duit dari orang-orang lemparin duit dari mobilnya. Sebelum mencapai lampu merah tersebut, ada tulisan di jalan : Purwokerto kearah kiri, langsung kita belok. Dari situlah kita tanya-tanya, takut nyasar. Sempet uga sih didalam kota Purwokerto telepon dia untuk minta di guide, tapi akhirnya jam 10:30 sampai juga deh di Purwokerto, di studio radio “Suara Purwokerto FM”.

Aku agak lama juga nggak ketemu dia, tahun 2005 terakhir ketemu waktu pulang lebaran dari Klaten. Memang kelihatan belum normal banget kondisinya, kelihatan dari cara jalan dan bukain/dorong pintu besi yang berat. Mudh-mudahan dengan kesabaran dan tawakal, ALLAH akan mengembalikan kesehatannya. Amin....

Studionya sederhana, terletak di lantai 3. Di studio ini kulihat hanya ada komputer 2 biji, mike dan beberapa gantungan kertas, untuk dibacakan barangkali, lainnya aku nggak tahu karena memang asing dengan peralatan pemancar radio. Antena menjulang di depan setinggi +/- 30 meter yang tersusun dari kerangka besi yang ditumpuk-tumpuk di tunjang oleh tali-tali kawat yang diikat kemana-mana. Katanya pernah waktu musim hujan lalu antena ini tumbang! Untungnya tidak ada korban jiwa, tapi hasilnya sekarang ini jadi trauma, sebentar lagi musim hujan, musim angin lagi.....

Saat kita datang, radionya lagi relay Elshinta Jakarta, jadi bisa ditinggal-tinggal ngobrol. Ternyata simpel yan pemancar radio itu, ngak ribet. Dulu, kupikir pemancar radio itu rumit, banyak alat ini dan itu, harus ruangan tertutup dan persyaratan lain yang njelimet, ternyata dengan sesederhana itu radio bisa on dengan baik, tinggal jangkauannya aja yang diinginkan, jauh atau dekat, tergantung kita maunya apa.

Purwokerto - Klaten

Rencananya dia akan ikut kita bareng ke Klaten mengingat dianya nggak ada kendaraan dan kondisi fisik yang tidak 100 % fit. Baru saja dia “sembuh” dari stroek setelah dideritanya cukup lama, udah bisa jalan lagi sekarang walaupun masih agak diseret-seret. Ternyata yang berangkat cuman dia sama Dinda anaknya, sang istri tidak ikut karena studio nggak ada yang jaga. Karena Masjid agak jauh dari situ, akhirnya kita memutuskan shalat Jum’atnya dijalan saja sambil lewat. Gurame goreng ditinggal disini satu sebagai oleh-oleh.

Berangkat jam 11:00, berlima. Kali ini jalan yang akan ditempuh keluar Purwokerto adalah jalan yang lewat gunung-gunung itu. Kurang lebih 24 km untuk sampai ke jalan “selatan” yang menuju ke Jogja. Setelah berhenti sebentar masih di dalam kota karena Enca beli pulsa, kita langsung lanjut menuju ke gunung itu setelah sebelumnya berhenti lagi untuk shalat Jum’at. Kirain khutbah Jum’at mau pake bahasa jawa, ternyata pake bahasa Indonesia, jadi aku ngerti apa yang didakwahkan. Mobil diparkir di komplek kantor kepolisian, nggak tahu dimana tuh, yang jelas belum naik gunung.
Lepas Jum’atan kita cari rumah makan untuk ngisim perut yang terasa lapar. Rumah makan Padang, warteg atau apapun yang ada kita akan mampir. Sampailah kita disuatu tempat, masih sebelum gunung, yang tempat parkirnya agak luas. Makanan khas Kebumen katanya. Masuklah kita, cari-ari tempat duduk yang enak walaupun saat kita masuk, cuman kita doang yang ada, kosong. Setelah dapat tempat duduk yang dirasa enak, si pelayan rumah makan bilang, makannya cara prasmanan, ambil sendiri katanya. OK....
Pilih sendiri, ada irisan gurame goreng, lele goreng, ceplok telor, sayur tahu yang mengkilat airnya, lalap, mendoan, tempe goreng dan lain-lain pokoknya. Ngiter deh kita cari yang disukai, aku makan pilih tempe goreng, sambal goreng kentang dan tahu anmil 4 biji. Tapi disinilah aku mendapat “malapetaka kecil”, karena salah pilih dan lupa akan pantangan. Makan berlima dengan perut kenyang, tapi tarif makannya murah banget, cuman abis dibawah Rp. 50,000, Bayangin!

Setelah +/- satu jam disini, perjalanan dilanjut ke Klaten. Nah, mulai deh perjalanannya sulit, mulai antri, ngerayap sampai ke Wates! Bis, angkot, kendaraan pribadi dan ....motor tumplek plek di jalan. Di Gombong Rushnya disenggol kijang butut, itu srikandi keluar sambil sewot, kalau mampu itu sopirnya ditelen kali ama dia. Untungnya nggak apa-apa, cuman emblim (logo) Toyota-nya aja yang nempel di “konde” belakang copot, tapi masih bisa ditempelin lagi.

Di Kutoardjo sempet beli bengkuan, Rp. 10,000.- 3 iket. Lumayan bakal rujak aku, aku kan menunya makan rujak tiap hari, maksudnya makan buah-buahan, tapi karena kalau dimakan telanjang begitu takut bosan, maka suka dibuatin bumbu rujak supaya lancar. Murah juga bengkuangnya, banyak ternyata 3 iket itu. Makannya dicampur mangga yang tumbuh dihalaman rumah Klaten, kebetulan lagi musim.
Mulai sekitar Purworejo, tangan kanan mulai terasa kaku, sakit banget. Digerakin sedikit saja sakit. Kenapa sih ? Aku pikir-pikir, abis ngapain aku, rasanya nggak ngapa-ngapain, koq begini ? Anehnya sakitnya kalau digerakin dengan menekuk atau dilurusin. Digoyang kiri ke kanan is no problem, kenapa ya ? Repotnya, kalau tangan jatuh dari stir ke kaki, udah nggak bisa lagi diangkat pegang setir lagi, harus ditolong tangan kiri untuk menaikannya kembali ke stir. Tambah lama tambah parah. Sampe di Klaten nyetirnya tinggal sebelah, pake tangan kiri doang. Duh.... Begitu sampae jam 19:30, langsung sholat, tiduran dan istirahat. Tangn kanan udah hampir “pensiun” dari aktifitas biasa, menyulitkan. Dipikir-pikir kenapa begini, oh ternyata..............karena makan tahu! Itulah yang kumaksud “malapetaka kecil”. Sudah kedua kali ini gara-gara makan tahu, asam uratku kumat secara spontan. Di menu yang ditulis dokter memang makan tahu hanya diizinkan hanya 50 gram sehari, itu kan berarti hanya 1 buah! Nah siangnya aku makan 4 buah.... Kalau sakit begini, bagaimana nanti kalau mau pulang? Aku khawatir kalau istri yang bawa, ini kan jalan diluar kota bukan dalam kota, situasinya lain, ganas !

Mbak Watty langsung telepon kakaknya yang di Jatibarang, resepnya ternyata seperti yang beberapa bulan aku minum, ramuannya nanti aku posting tersendiri. Saat aku minum itu di Klaten, aku hanya tidak ingin mengecewakan istri saja yang sudah susah-susah telelpon ke Jatibarang, aku minum biasa saja tanpa harapan bisa sembuh toh aku juga bawa obat dokter untuk obat asam urat. Ajaib, dalam waktu 2 hari a 3 kali sehari, eh ALLAH memberi kesembuhan aku melalui ramuan tadi. Alhamdulillah, aku bakal bisa pulang dengan wajar.

Rumah Klaten ternyata belakangnya sudah dibuat 3 kolam besar untuk pelihara ikan lele, waktu lebaran itu ada 1 kolam yang baru kurang lebih 4 atau 5 hari diisi anak lele, yang dua lagi belum. Kolam yang satu hanya diisi air dan yang satu lagi malah kosong nggak diisi apa-apa, bocor katanya. Waktu mau diisi lele, dasar kolam diisi pupuk kandang. Entah karena itu atau karena hal lain, dari 70 kilo anak lele yang diisikan, tiap hari ada anak lele yang mati, katanya kalau dikumpulin mungkin lebih dari 5 kilo yang mati. Air kolam disupply dari sumur bor yang sengaja dibuat disamping kolam, besar katanya airnya, maklum disitu kan pohon-pohan masih rindang, jadi debit air nampaknya nggak masalah, terbukti dengan pembuatan kolam renang di rumah boss Mujaeroni yang airnya dari sumur bor.

Praktis, selama libur di Klaten aku nggak kemana-mana. Tangannya sakit nggak bisa digerakin. Ada sms dari pak Ari Hartanto Bintara juga yang diminta untuk mampir, aku nggak bisa penuhin, sementara istri memuaskan keinginannya pergi ke pasar Bringharjo dengan leluasa. Kayaknya kalau pergi ke Joga tanpa mampir di Bringharjo dia merasa tidak lengkap.... Siangnya hari minggu, Pakle Kardi dari Magelang datang bersama anak menantunya sekeluarga yang dari Palembang.

Wednesday, October 22, 2008

Mudik Lebaran

Hari ini, Selasa 30 September 2008 adalah hari terakhir bulan suci Ramadhan 1429 H. Setelah 29 hari berpuasa, mudah-mudahan ikhlas dan berserah diri, hari ini adalah hari terakhir kita bersama bulan yang sangat dinantikan ini. Sedih sih, ada perasaan itu terselip di dada. Rasanya koq sebentar sekali, tahu-tahu bulan yang dinantikan ini akan cepat berlalu. Masih bisakah aku ketemu dengan bulan ini tahun depan ? Ya ALLAH, mungkinkah aku dapat bertemu kembali dengan bulanMU yang suci ini, yang penuh dengan banjirnya pahala? Betapa tidak, ibadah sunat dibayar dengan pahala wajib, wajibnya sendiri dibayar dengan pahala berlipat-lipat....

Yang lebih menyesakkan hati lagi, justru di periode ke 3 terakhir, maksudnya 10 hari terakhir, rasanya ibadahku menurun! Duh....kenapa ya? Tahu sih, bahwa itu sedang menurun, kenapa tidak diperbaiki? Kayaknya syetan berhasil menguasaiku, rasa enggan kadang menyergap bila mau melakukan ibadah. Yang jelas, dalam 20 hari puasa (2 periode atau 2 masa), 2 x aku khatam Al Qur’an, rata-rata 1 hari dapat 3 juz. Dalam masa ke 3, aku hanya bisa menyelesaikan 6 juz! Konyol.... Ya ALLAH, ampuni aku....

Hari ini adalah hari keberangkatan mudik aku bersama keluarga. Agak istimewa mudik sekarang ini sebagaimana istimewa mudik beberapa tahun silam. Hari ini mudik pake mobil baru, Toyota Rush, jenis SUV ber cc kecil (tapi berbadan SUV biasa) dari Toyota. Baru 1 bulan lebih dipake. Penyerahan dari dealer Toyota pake tanggal yang unik, penyerahannya tanggal 08-08-08, unik kan ? Tahun 2004 lalu pake mobil baru Avanza, juga baru 1 bulan lebih dipakai. Tahun berikutnya tahun 2005 pake mobil baru lagi, Kijang Innova, lucunya lagi baru 1 bulan lebih juga dipakainya! Lumayan, performa Rush juga nggak mengecewakan, tenaganya cukup besar walau hanya 1500 cc, katanya engine-nya sama dengan engine Avance yang 1500 cc. Rush ini kita ambil yang manual, soalnya kalau mau yang matic kudu ngerogoh kantong 14 juta lagi. Larinya boleh juga, cuman body-nya saja yang agak enteng. Rush nya ambil warna hitam, sama seperti SUV yang satunya, jadi dua-duanya hitam. Konsumsi bahan bakarnya boleh dibilang lumayan irit, bisa 1 liter berbanding 12 km kalau keluar kota (tanpa macet). Jadi kalau ke Klaten yang berjarak 650 km hanya perlu 55 liter, itu sama dengan cukup 1 kali isi saja, full tank.

OK, rencananya kita ke Ciamis dulu sebelum kita ke Klaten. “Perabot” yang kubawa adalah Laptop berikut Wimode-nya. Ingin kujajal apakah Esia sampe di Ciamis atau Klaten sekalian sebagai teman dan cek email, siapa tahu ada yang penting untuk dilihat. Di Ciamis, seperti telah ditetapkan pertemuan keluarga setahun sebelumnya, adalah tempat kumpul keluarga besar MA Nawawie untuk lebaran 1429 H ini, dirumah Ua Een. Pertemuan akan diadakan pada hari kedua, artinya tanggal 2 Syawal 1429 H atau Kamis, 2 Oktober 2008. Setelah sebelumnya di confirm, Insya ALLAH semuanya akan dapat hadir pada pertemuan tersebut. Pertemuan ini, yang seterusnya akan diadakan, mengambil momentum Lebaran, disamping ber-halal bi halal juga dipakai untuk bersilaturrahim antara semua keluarga besar MA Nawawie.
Sejak meninggalnya Ibuku tercinta, kegiatan ini wajib rasanya dilakukan mengingat kita telah berpencar ke delapan penjuru angin. Bila ini tidak diadakan atau tidak dipaksakan, khawatir kita akan jadi jauh karena sulit untuk berkumpul secara utuh dalam satu waktu. Tempat pertemuan silaturrahim diadakan urut menurut silsilah keluarga, dari yang paling sulung turun ke bawah. Tahun lalu diadakan di rumah Ua Lilih di Pondok Gede.

Alhamdulillah, kayaknya mudik kali ketiga ini kita ambil waktu yang tepat. Maksudnya, mudik ketiga ini tidk dipertemukan dengan jengkelnya macet-macetan di jalan. Setelah nonton di TV bahwa macet jalan raya sejak hari H-5 yang cukup panjang, baik lewat utara maupun selatan, aku berfikir, apakah aku juga akan menemui hal yang sama ? Bayangkan, saking macetnya, Jakarta – Cirebon ditempuh dalam waktu 17 jam yang biasanya cukup dengan 4 jam! Belum lagi ke Ciamis, biasanya 3 sampai 4 jam, ditempuh dalam waktu 12 jam.

Kita berangkat berempat, aku, istri, Enca sama Ua Lilih. OQ nggak ikut karena alasan masih kerja. Ua ikut aku karena Ua Fe’i sama Ang Ade dan Teh Neneng akan berangkat pada hari H selepas shalat ‘Ied. Pagi-pagi sekali sudah didrop sama Ua Fe’i dan Ang Ade Heri ke rumah. Alhamdulillah, rupanya pilihan waktu mudik H-1 adalah waktu yang tepat. Sejak berangkat dari rumah, tidak nampak tanda-tanda heboh mudik lebaran. Begitu masuk toll firasatku mengatakan : sampai Ciamis jalan akan seperti ini, lancar. Ternyata betul! Berangkat jam 06:00 pagi, tapi sempet baik lagi karena waktu sampai di Metropolitan Mall, Enca bilang bahwa Charger HPnya ketinggalan. Praktis baru jam 06:30 kita berangkat, sampai di Ciamis jam 10.45. Yang seru Ua Fe’i, berangkat hari H, kirain mau kosong, wah nggak tahunya kayak H-3 atau H-2. Kusut! Sementara kita di jalan tidak menemui kendala, cuman di Tasik aja Ua Lilih rada takut gara-gara aku sedikit panas saat ada mobil Gran Max tanpa sopan nyelip didepan. Aku kejar dia, rupanya Ua Lilih sama istri khawatir, takut kecelakaan. Untung aku reda......

Sampai di Ciamis, ada beberapa spanduk yang memberitahukan bahwa pada H+1 Mamah Dedeh akan hadir dalam suatu kenduri di Masjid deket Ua Een dan Endang suami Euis jadi panitia disana. Lagi laris Mamah Dedeh.... Kerabat yang sudah datang duluan adalah Yati dan Emma adikku, mereka datang malam sebelumnya. Nikmat, bener nikmat kalau ketemu saudara kandung itu walaupun sebelumnya misalnya kita dihalangi dengan bermacet ria yang parah, namun begitu ketemu sama semuanya, rasa jengkel dan cape hilang seketika, entah kenapa. Kayaknya hubungan emosional yang berperan. Nikmat....
Rumah Ua Een sudah siap menampung kita semua, maklum disamping rumahnya yang besar juga ditambah dengan rumah ke 3 anaknya yang berhadap-hadapan, rumah Euis, Ai dan Asep yang ketiganya cukup besar juga. Rumah Euis jadi tempat kumpul para bujang-bujang sementara rumah Ai tempat kumpul para cewek-cewek yang masih imut. Bujang-bujang itu adalah anaknya Euis ada 2, Anak Ai 1, anakku 1, anak Nunung 2, belum Ang Herri yang kadang gabung disitu. Anak ceweknya adalah anak Euis 1, Ai 1, Asep 1 sama anak Emma 1.

Jadi soal penginapan tak jadi masalah, lain soal kalau giliran pertemuan di Bekasi, mau diapakan kerabat segitu banyak sementara rumahnya cuman seuplik? Mikirnya nanti aja deh masih 2 atau 3 tahun lagi. Enca yang biasa nempel terus ke ortunya sekali gabung ke bujang-bujang langsung kaclep nggak pernah nongol-nongol ke kita lagi. Paling-paling nongol hanya untuk tanya sesuatu saja. Sayangnya karena memang belum musim penghujan, soal kebutuhan air yang rada sedikit mengganggu. Kadang nggak ada air ! Tapi ada untungnya juga lebaran lebaran kali ini, karena masih belum musim hujan, jadi suasana bisa lebih ceria tanpa harus ngurung terus dirumah karena hujan dan becek. Terima kasih ya ALLAH.

Saat senggang, kucoba nyambung internet, tapi rupanya Esia nggak sampe ke Ciamis. Jadi untuk sementara, laptopnya nganggur, siapa tahu di Klaten bisa berfungsi.

Silaturrahim

Seperti diceritakan diatas, silaturrahim ini diadakan setelah ibuku tercinta wafat. Adalah sangat sulit untuk mengumpulkan semuanya dalam satu saat yang sama tanpa ada sosok pemersatu. Ibu sebagai sosok pemersatu telah tiada, siapa lagi tokoh yang akan menggantikan beliau ? Itulah sebabnya ajang silaturrahim ini (harus bin wajib) diadakan, setidaknya setahun sekali dengan mengambil tempat secara bergiliran sesuai urutan silsilah keluarga. Aku rindu sekali untuk berkumpul saudara kandung, nikmat. Cerita-cerita kehidupan sehari-hari, guyon sampai urusan serius terjadi disitu. Kalau sudah kumpul, apalagi saat ibu masih ada, suka lupa waktu. Tanpa sadar tempat kongkow berpindah, dari ruang tengah, depan sampai dapur kadang-kadang ceritanya nyambung tapi tanpa sadar tempatnya sudah bergeser! Lucu kan ? Saat-saat itulah yang paling sulit dicari padanannya. Betapa tidak, kita ketemunya juga setahun sekali, itupun kalau nggak ada halangan.

Lebaran kali ini tempat yang kebagian jadi tuan rumah adalah tempat Ua Een. Syukur, beberapa saat sebelumnya sawahku di Lakbok panen, jadi lumayan bisa disisihkan untuk makan kita rame-rame. Para cucu sudah saling rangkul, walaupun cucu Ua Een dari Euis dan Ai setiap hari ketemu, tapi tak urung saat lebaran ini (mungkin) lain, namanya lebaran. Ada suasana berbeda. Apalagi ditambah Maya anak Emma bergabung, rame deh.... Para cucu dan keponakan yang bujang-bujang bukan main banyaknya, mereka kumpul dirumah Euis sambil main PS2.

Ua Munir, tuan rumah, mengusulkan untuk pergi ke makam diundur saja bukan seusai shalat ‘Ied mengingat belum kumpul semua “warga”nya. Ua Fe’i dan Ua Euis, mereka akan datang sore harinya setelah ‘Ied di tempatnya masing-masing. Ua Euis di Dayeuhluhur dan Ua Fe’i di Jakarta. Saat malam takbiran, kita ngobrol rame-rame, aku, Yati, Ua Lilih, Ua Een, Ua Munir dan para anak dan mantu. Esoknya, “para pendatang” melaksanakan sholat ‘Ied di Kertasari sementara tuan rumah di Cintapalah. Sedih lihat rumah di Kertasari, kosong, sepi dan dingin. Kayak angkuh gitu, mungkin dia marah sama kita-kita karena kita nggak tidur disitu. Lagian kayak agak kusam lagi karena memang sudah setahun lebih tidak dihuni. Sebenernya ingin sekali aku beli rumah itu tapi nggak punya dana lebih. Kalau aku beli nantinya aku nggak punya duit lagi bakal buat usaha.

Tak banyak temen yang aku jumpai di Masjid, hanya satu dua. Kangen juga sih kalau ada.....Seusai sholat ‘Ied, sewaktu mau pulang, ternyata di depan rumah banyak orang. Siapa dan ada apa ? Hey, ternyata para Bibi dan sepupu yang sengaja menunggu kami untuk berlebaran! Ada Bi Enok Mukalam berikut anak, cucu dan menantu, Bi Neneng Desa juga demikian. Setelah berlebaran, saling memaafkan, kami bubar ke rumah masing-masing. Yang sedih, kita pulang ke Cintapalah, tidak stay di Kertasari. Ibu, maafkan kami....
Pulang sholat ‘Ied, seusai pada makan pagi, kita semua pergi ke makam Dhany, anak Ua Een/Ua Munir yang meninggal 16 tahun lalu karena kecelakaan lalu lintas. Dia anak yang aktif, pintar dan ganteng. Hobby-nya hiking.... Karena tempatnya deket, kami berangkat rame-rame jalan kaki. Rupanya disana ada lahan bekas Ua Munir melihara ayam negeri untuk diambil telornya.

Ada kejadian “kecelakaan” sedikit yang menimpa Ua Lilih. Setelah jalan agak jauh (setidaknya bagi Ua Lilih), rupanya cukup memakan energy juga, makanya saat naik tangga undak-undakan beton, kaki kanan si Ua kejeduk badan tangga yang pada ujungnya membuat kaki kanannya terkilir. Untungnya saat pulang belum begitu terasa sakitnya. Rasa sakit dan timbul bengkak muncul saat sore hari, jalan jadi susah, diseret-seret. Kasihan Ua. Malamnya, dipanggil tukang urut. Kebetulan, tukang urutnya sudah berpenglaman, sekali urut kayaknya si Ua mendingan, sakitnya berangsur hilang, tinggal bengkaknya saja.
Makan siang disuguhin ikan Gurame, rendang sapi, sayur pepaya, lontong atau ketupat yang masih tersisa. Karena rame banyak orang, nikmat sekali rasanya, kalau nggak takut cholesterol, mungkin segala dimakan deh...

Sorenya rombongan Ua Fe’i datang, katanya muacet banget di Nagreg. Total perjalanan makan waktu 8 jam. Anggota rombongan, Ua, Ade Herri, Enun, Ata dan Teh Neneng. Menjelang Maghrib Ua Euis datang dianter ponakannya, anak Onah. Suasana jadi rame karena Ua Euis, biasa, ngoceh terus ceritain ini dan itu. Tidur baru terjadi lewat jam 23.00. Tinggal Ua Cecep yang belum datang, katanya sih mau datang. Suasana tambah rame. Setelah dihubungi via telepon, katanya Ang Cecep nggak bisa ikut hadir, sakit katanya. Sayang, pertemuan silaturrahim ini tidak lengkap jadinya. Belakangan diketahui, dia lagi terbujur di tempat tidur karena sakit. Dia akhir-akhir ini mengeluh sering sakit, kayaknya sakit yang berhubungan dengan jantung. Kabar dia sakit didapat dari Ua Fe’i yang waktu pulang kembali ke Jakarta lewat Cikamurang, Ua sekeluarga sempat mampir ke Talaga.

Esoknya, pagi-pagi kita ke makam Apa dan Ibu tercinta, Ua Munir yang memimpin tahlil dan do’a di makam. Naik ke makam kita lewat jalan memutar karena jalan masuk yang biasa digembok. Kupikir sombong juga orang yang punya tanah makam ini, biasanya juga boleh tapi kali ini seolah olah dilarang keras. Padahal kalau diruntut dari silsilah, dia itu masih saudara sama ayahku. Ya sudahlah.... Selepas dari makam, kita berlebaran ke rumah Bi Neneng atau Nini Bageur di depan Kodim, anak-anaknya yang diluar kota belum ada yang datang, katanya besok, jadi kasihan saat lebaran masih sepi. Lanjut ke rumah Bi Enok di Mukalam, disini lain, semuanya sudah kumpul semuanya, termasuk yang di Medan. Yang tidak hadir hanya satu, anaknya yang tinggal di Australia, tapi ketidak hadirannya bisa diwakili oleh 2 anaknya yang sekolah di UGM dan ITB.

Sudah lama sekali tidak bermukim di tempat yang kiri kananya tumbuh pohonan yang bila bangun tidur terdengar gemericik air pancuran di kolam. Duh....
Tidur di Cintapalah membangkitkan kenangan itu, betapa sejuknya, betapa enaknya. Ada sih suara pancuran gemericik air di rumah Bekasi, tapi tidak menggantikan suara aslinya di kolam, bagaiamanapun itu suara alam yang asli, tak tergantikan... Belum lagi suara kokok ayam waktu membangunkan malam, embun pagi yang tebal, dan suasana yang hening menyambut pagi. Yang hilang dari masa lalu adalah hilangnya penjual kayu bakar yang dipikul subuh-subuh. Aku ingat, sebelum beduk subuh berbunyi, ibu sudah berdiri dipinggir jalan nyegat tukang kayu bakar, aku lupa berapa harga sepikul kayu bakar. Biasanya, selain tukang pikul kayu bakar, ada juga tukang penjual bambu, ada yang dipikul atau ada juga yang pake gerobak. Atau kadang-kadang tapi sangat jarang, tukang jual bilik / gedek. Cara jualnya kadang lucu, dia memikul gedek dengan cara dilengkukkan sehingga membentuk huruf U sementara dianya sendiri ada didalam lekukan tersebut sehingga bila berjalan pikulannya, tukang bilik tersebut tidak kelihatan. Bisa dibayangkan beratnya beban yang dibawa, tapi toh mereka tetap lakukan juga demi menghidupi anak istrinya. Berat banget ya ?

Subuh-subuh berangkat ke Masjid bareng Ua Munir, Ua Fe’i dan Ua Muhyiddin. Masjidnya deket rumah, jadi sebentar saja sampai. Seperti Masjid di Kertasari, sebelum masuk Masjid kita dihadang kolam yang sengaja dibuat, pinggirnya dibuat cetek hanya cukup sampai mata kaki sehingga bila kita masuk Masjid, dipastikan kaki kita telah basah oleh air kolam dan kaki kita telah bersih untuk menginjak lantai masjid.

Isi pertemuan silaturrahim

Setelah pulang dari makam dan berlebaran dengan Nini bageur dan Nini Enok, pertemuan silaturrahim dibuka sekitar jam 10.00 pagi. Jadi yang hadir pada pertemuan itu ada 7 keluarga :
1. Ua Fe’i sekeluarga. Yang ikut hanya Ade Heri dan Neneng saja. Nina, Iwan dan Agus tidak bisa ikut karena ada halangan. Iwan tidak bisa karena istrinya tugas terbang ke China, Nina karena suaminya piket di kantor kelurahan dan Agus karena Omanya menjadi sesepuh yang ada dalam clan-nya sehingga hari H harus stay di rumah.
2. Ceu Een, tentu saja semuanya hadir.
3. Ceu Euis datang beserta Kang Emuh. Nggak ada yang ikut, maklum jauh di Malang. Teteh lagi sekolah lagi di Jogja untuk S3-nya, Apip lagi bersiap mau ke States dan Elsa punya anak kecil, repot.
4. Aku datang hanya bertiga, aku, istri sama si kecil Enca. OQ nggak ikut karena waktu berangkat masih dinas dan rencananya hari Jum’at, 3 Syawal masuk kantor yang baru.
5. Yati datang berikut Yangyang dan Sansan. Lingling lebaran di Lampung, Fangfang lagi kumat penyakit kanak-kanaknya.
6. Yayah datang utuh seluruhnya
7. Nunung tidak ada wakil, Mang Dudin tugas di Pangandaran dan anak-anaknya merasa belum saatnya kumpul bareng para orang tua
8. Ema juga sekeluarga datang
Berhubung aku adalah anak laki-laki satu-satunya, Ua Fe’i minta aku yang buka pertemuan ini. Setelah do’a pembuka dibacakan, aku mereview atau lebih tepatnya membacakan hasil pertemuan sebelumnya di Jakarta di rumah Ua Fe’i. Namun karena tidak ada tertulisnya, aku berusaha mengingat-ingat isi apa saja yang telah dibicarakan waktu itu.

1. Soal penjualan rumah Kertasari

Sejak aku menundurkan diri dari kesediaan membeli rumah tersebut, harga jual telah ditetapkan nilainya. Jumlah tersebut adalah net, tidak disebutkan lagi potongan ini dan itu, pokoknya jumlah tersebut adalah jumlah net yang harus diterima.
Pernah sebelumnya, waktu itu kurang lebih bulan Agustus 2008 lalu ada tetangga di Ciamis yang datang ke rumah, katanya sih dia minat untuk membeli rumah tersebut. Datangnya saja rada ditutup tutupi, malah katanya jangan sampai kakakku yang di Pondok Gede tahu akan kedatangannya. Tujuannya cuman satu : nego!
Aku katakan sama dia, akan menjadi percuma jauh-jauh datang dari Ciamis untuk bernego sama aku, karena aku bukanlah penentu jual tidaknya rumah tersebut (mungkin sangkanya siapa tahu aku bisa diajak damai dengan harga yang dia tawarkan karena menurut dia akulah pemegang kunci penentu!) Aku katakan, rumah itu milik kami bersembilan dan kami sudah sepakat rumah akan dilepas dengan harga yang telah ditentukan. Datang ke siapapun akan mendapat jawaban yang sama karena ini adalah kesepakatan bersama. Tidak akan satu orang menyetejui untuk kemudia disampaikan ke saudaranya yang lain bahwa harga telah disetujui sekian tanpa berunding dulu sebelumnya.
Dalam pertemuan silaturrahim ini, disepakati bahwa harga jual tetap sekian tidak dirubah walaupun sebagian orang menilainya terlalu mahal. Tak soal, biar saja. Siapa tahu salah satu diantara kita ada yang mampu membelinya sehingga rumah tersebut tidak jatuh ke orang lain.

2. Soal anak Nunug yang sulung, Ari.

Bi Yayah dan Ua Een diserahi tugas untuk menanyakan ke Ari tentang status sekolah dia yang katanya sedang menyusun skripsi. Kita khawatir dia berbohong, padahal dia sudah drop out tapi dia ngaku belum. Kejelasan yang diharapkan dari Yayah dan Ua Een tentang dia diharapkan kita dapat tahu apa yang seharusnya kita buat untuk dia. Kasihan, setelah ibunya tiada, anak-anak ini dua-duanya seperti anak ayam yang kehilangan induk. Bila ditanya, dia selalu menghindar, jadinya kita tambah yakin bahwa dia menyembunyikan sesuatu dari kita, sementara ayahnya agak acuh ke mereka. Katanya sih, anak-anak itu kalau diajak bicara belum apa-apa sudah pada sewot. Mungkin sewotnya anak-anak itu karena ayahnya pacaran sama cewek yang mereka tidak setuju. Saat ini Ari jadi luntang lantung saja dirumah, tanpa ada kegiatan lain, kasihan. Jangan sampai, ibunya tiada, anaknya terlantar. Beruntung adiknya masih semangat untuk sekolah yang saat ini menjadi mahasiswa baru di Unsud Purwokerto.

3. Soal next silaturrahim.

Bubar pertemuan, Boss Endang, suami Euis buka panggung Karaoke di depan rumahnya. Saat kami pertemuan, musik sudah mengalun dari organ Yamahanya, kirain itu Endang sendiri, nggak tahunya Ade Heri yang mainin. Eh bisa juga dia ya.....
Mulai deh berturut turut nyanyi. Kebetulan siang itu barus selesai acara tampilnya Mamah Dedeh di dekat Masjid besar deket rumah. Mamah Dedeh manggung di tempat ponakannya yang nyunatin. Lagi laris tuh Mamah Dedeh, dia tampil dimana-mana.
Setiap orang suruh nyanyi, akupun disuruhnya, tapi karena nggak ada text-nya aku urung untuk ikutan nyanyi. Akhirnya yang nyanyi dia sendiri diiringi pemusik Ang Ade Heri, paling-paling selingannya Eneng yang nyanyi. Kita nggak tahu deh, tetangga keberisikan apa nggak mengingat soundnya kayak orang lagi hajatan, kenceng banget.
Silaturrahmi berikutnya di rumah Ang Cecep seharusnya, tapi karena dia nggak hadir, diusulkan untuk diadakan di Malang. Kita charter nanti bus yang cukup untuk mengangkut sekitar 30 – 40 orang. Berangkat dari Jakarta lewat Ciamis supaya yang Ciamis dapat diangkut sekalian. Kelihatannya akan sangat menarik.......... Belakangan baru diketahui bahwa Ang Cecep bener-bener sakit. Waktu ditengok Ua Fe’i, dia lagi terbairing di tempat tidur, katanya sakit ini disebabkan oleh dicabutnya gigi ?

Sore-sore, hampir semuanya kita pergi ke rumah Yayah di Werasari, daerah ini terdapat di ketinggian, karenanya daerah ini cukup sejuk setiap harinya. Pergi kesini dari Ciamis mendaki terus, berkelok-kelok dan jalannya kecil sehingga kalau berpapasan dengan kendaraan lain kadang-kadang perlu stop dulu salah satunya untuk memberi jalan. Karena letaknya dikaki gunung, air bukan masalah disini, uniknya, air PDAM melimpah nggak tanggung-tanggung, bahkan terbuang-buang! Seberapa borospun pemakaian air, bayarnya sebulan cuman Rp. 15,000.00! Mana bening, sejuk. Kabarnya sih itu air langsung dari mata air di gunung. Dulu sebelum dibentuk PDAM, air dialirkan melaui slang plastik dan....... tak pernah ada kran untuk stop, jadi ngalir terus, tumpah-tumpah. Saking sejuknya, istriku bilang katanya dia merasa rugi kalau berkunjung ke rumah Yayah tanpa mandi! Enak sih.... Usai maghrib, kita dijamu makan sama ikan gurame, peyek kacang dan lainnya. Kita duduk sembarang saja, ada yang diluar, di teras, ditengah rumah, wah pokoknya nyebar. Dan ternyata disitu enaknya. Makan rame-rame dan suasana lebaran setelah seharian merasa capek, makan malam begini jadi nikmat banget....

Cucu Bi Yayah dari Asep udah berumur 8 bulan, udah bisa bercanda. Main sama Ata anak Ang Ade ajrut-ajrutan sampai terpingkal-pingkal, kita khawatir setelah kita bubar dia akan sakit karena kecapean ketawa. Rumah Bi Yayah ini bentuknya memanjang karena letak tanahnya yang memanjang. Jadi rumah Bi Yayah ini hampir seluruhnya menghadap ke “jalan”. Kebetulan pula letaknya di jalan buntu, jadi tidak terganggu lalu lintas kalau toh kita duduk diluar rumah, sementara depannya rumah kaknya Mang Rahman, suami Bi Yayah. Sejuk, dingin dan hening disini, maklum tempatnya agak didalam. Tapi tinggal disini kayaknya tenang sampai-sampi istri bilang : “Pah, kita beli rumah disini, enak kayaknya, tenang” katanya. Sehabis makan malam yang nikmat, kita bubar pulang ke Cintapalah.
Bersambung.........