Monday, October 27, 2008

Mudik lebaran episode 2

Ciamis - Purwokerto

Hari Jum’at, 3 Oktober 2008 adalah hari “bubaran” para kontingen. Kontingan Pondok Gede, Bintara Jaya, Karawang, Malang rencananya akan jalan pagi ini. Yang tinggal adalah kontingen dari Bambu Apus karena anak-anaknya masih ingin stay di Cintapalah.

Pagi-pagi buta, kontingen Karawang sudah siap berangkat, kulihat mobil Emma sudah siap saat aku, Ua Fe’i, Ua Muhyiddin dan Ua Munir pulang dari Masjid seusai shalat Subuh, untuk menghindari macet katanya setelah dapat info bahwa Nagreg macet se macet-macetnya sejak malam. Nggak tahu apa nekat atau apa boleh buat, Emma sama suaminya tetep pulangnya mau lewat Nagreg, mungkin ibarat rasa pasrah : apapun yang terjadi, pokoknya aku mau lewat Nagreg karena hanya itu yang kutahu. Jam 05:00 mereka berangkat. Pasrah, ini pula yang aku rasakan jauh sebelum Cipularang ada. Waktu itu dalam pikiranku kalau mau pulang ke Ciamis : pokoknya apapun yang terjadi, semacet apapun nantinya, kalau mudik ke Ciamis aku akan lewat Puncak! Lewat toll Cikampek aku rasakan agak lain, driving on this path is a little different compare to Jagorawi. Serasa kering, gersang gitu kalau lewat Cikampek, nggak tahu kenapa. Tapi perasaan itu lambat laun berubah setelah tahun 1998 kantorku pindah ke Cikarang, praktis tiap hari aku lewat situ yang pada akhirnya perasaan kering itu sedikit demi sedikit menghilang. Sekarang ini jalan toll ke Cikampek sudah jauh lebih nyaman, apalagi Jakarta - Cikarang, jalannya lebar walaupun semakin hari nyatanya kendaraan yang lewat situ bertambah terus. Setidaknya ada niat pemilik jalan toll untuk membuat para pengguna jasa merasa nyaman.

Setelah beres-beres apa-apa yang harus diberesin, kontingen Pondok Gede dan Bintara Jaya bubar barengan sekitar jam 07:30. Sewaktu beres-beres, aku mengalami kendala sedikit karena dompet kecil tempat kartu-kartuku tidak ditemukan. Penting banget itu, karena disitu disimpan 2 kartu kredit Citibank, 1 kartu kredit BCA, ATM BCA, kartu asuransi berobat AIA, kartu eazy pay Citibank, kartu member laboratorium Prodia dll. Yang paling penting sih kart ATM, kalau butuh uang nanti gimana semantara di dompet minim ? Ubek-ubekan dicari belum hasil sejak tahun tadi malam waktu mau ke rumah Bi Yayah. Diulang lagi ingatan, ngapain aja sejak kemarin, mana tahu aku lupa atau dompet itu tercecer tanpa sadar, tetap nggak ingat. Yang kuingat adalah, dua dompet itu disimpan diatas box dekat tempat tidur dan istriku merasa mengamankan itu karena letaknya deket sekali dengan jendela yang nakonya terbuka. Pasrah ? Jangan, ini harus ketemu! Nah, disaat-saat terakhir, dalam kepasrahan, aku coba buka kantong-kantong cover laptop, ALHAMDULILLAH, rupanya dia nongkrong disitu, rupanya aku (mungkin) lupa memasukkannya kesitu. Jadilah kita berangkat dengan tenang.

Berangkat pulang iring-iringan sama Xenia merah Ua Fe’i sampai di pertigaan jalan besar Cijantung, disini kita berpisah, Xenia ke kanan kita ke kiri karena kita mau lanjut ke Klaten. Ua Euis sama Ua Muhyiddin bareng kita sampai Majenang karena mau mampir di rumah Oyah, ada yang mau dibawa katanya, ikan gurame kalau tidak salah. Rencananya katanya mau pulang ke Malangnya hari Minggu dari Majenang, jadi masih ada waktu beberapa hari leha-leha disana.

Jalanan enak, sepi dan lancar. Suasana pagi yang cerah ikut membuat suasana hati jadi enteng dan enjoy. Aku yang tadinya waswas apakah bisa nyetir sendiri pake yang manual jadi heran sendiri, koq bisa ? Ya memang, setelah punya pengalaman lutut sakit nggak bisa dibengkokin akhir tahun lalu, aku jadi nggak bisa dan nggak berani bawa mobil dengan transmisi manual, kaki kiriku nggak nyanggup. Itupun dulu (mungkin) disebabkan pake Avanza yang manual, couplingnya keras sehingga menyebabkan kaki kiriku lututnya sakit. Bener-bener nggak bisa dipakai untuk injak coupling, sakitnya nggak tertahankan. Tapi menurut medis sih kayaknya asam urat yang lagi kumat. Waktu Ua Euis tanya, kira-kira berapa lama sampai di Majenang, kujawab sekitar 1 sampai 2 jam, tergantung kondisi lalulintasnya. Sebenernya jaraknya hanya sekitar 50 sampai 55 km ke Majenang dari Ciamis itu, tapi karena jalannya kecil dan cukup banyak kendaraan yang lewat, jarak tersebut harus ditempuh dalam waktu 1 sampai 2 jam.

Suasana sepanjang jalan yang dilewati masih nampak dalam suasana lebaran. Orang masih banyak yang bersilaturrahim ke para kerabatnya. Manusia banyak berderet di pinggir jalan, apalagi di tempat-tempat khusus pemberhentian mobil angkutan umum, mereka kayaknya mau bersilaturrahim ke tempat-tempat kerabatnya yang agak jauh, yang membutuhkan angkutan. Belum lagi mungkin yang akan pergi ke tempat-tempat rekreasi. Suasana hari ketiga lebaran masih terasa meriah. Itulah enaknya kita tinggal di Indonesia, di negara yang mayoritas beragama Islam. Kebetulan kita tinggal di daerah belahan bumi bagian timur yang rasa kebersamaan sesama warga sangat kental dan deket. Bandingkan dengan masyarakat Eropa atau Amerika, mereka sangat individualistis, lu lu gua gua. Di masyarakat kita, kenal nggak kenal, kalau ketemu mesti menyapa, setidaknya senyum. Senyum kan ibadah ? Belum lagi, anjuran agama yang harus senantiasa menyambung silaturrahim, ditambah budaya setempat, hal ini menambah rasa kekeluargaan yang kental . Itulah Islam, itulah Indonesia....

Sering baca di Internet mereka-meraka yang berada di negara-negara non muslim tentang rindunya mereka lebaran di tanah air, maksudnya disini, di Indonesia. Bagaimana ramahnya orang Indonesia, bagaimana meriahnya suasana lebaran,bagaimana tradisionalnya suasana. Ini yang bikin kangen katanya. Subhanallah....
Kembali ke jalan, seperti yang dibilang tadi, suasana lebaran masih terasa. Yang nampak menyolok di jalan adalah sepeda motor. Masya ALLAH...... kayak laron, banyak banget! Lagi asyiknya ngobrol, ada sms dari Emma, dia mengabarkan bahwa jalan ke Jakarta lancar banget, kosong katanya. Lho koq ? Yang macet itu ternyata arah ke Ciamis, bukan arah ke Jakarta, jadi ke Jakarta kosong melompong. Jam 09:30 katanya dia sudah sampe di rumah. Wah, lumayan banget, sementara si Ua pake jalan lewat Cikamurang karena kabar macet Nagreg itu. Tapi hikmahnya, si Ua bisa mampir di Talaga nengok Ua Cecep yang katanya sakit.

Soal mudik motor, dijalanan itu ada yang berombongan, ada yang mencar-mencar. Repotnya kalau kita mau nyusul, dari arah sebaliknya juga banyak itu yang namanya sepeda motor. Ya lucu, asyik, unik tapi ada juga rasa jengkel karena jadi terasa menghambat, belum lagi yang nyosor tanpa sopan, kadang-kadang kita dibuatnya repot. Kenapa dibilang unik, motor yang ikut meramaikan jalan karena lebaran, atau lebih tepatnya motor yang mudik lebaran, punya ciri khas. Yang gampang dilihat adalah tambahan kayu di belakang motor untuk nyimpen koper atau bawaan dalam bentuk kardus, kadang ada yang dibungkus plastik kardusnya, mungkin untuk menghindari basah karena hujan. Di jok belakang biasanya dempet istri sama anaknya. Kalau anaknya sudah besar setingkat SD, biasanya duduknya ngadep kedepan, tapi kalau masih kecil dalam gendongan, biasanya ngadep kebelakang ke ibunya sampil di bungkus kaen sarung untuk menghindari angin. Di depan sang ayah yang bawa motor, biasanya ada anak lagi yang duduk. Kalau motornya bebek mendingan bisa duduk agak rendah jadi nggak menghalangi pandangan sang ayah dari jalan, kalau motor biasa kan repot. Lucunya, anak yang didepan kadang kelihatan tidur dengan naro kepala di deket stang motor diganjel bantal. Kalau udah gini, apa sang ayah nggak kesulitan bawa motornya, jadi agak kaku gitu, misalnya kaku mau belok ? Seru, ngeri kadang lihatnya, tapi kelihatannya enjoy aja tuh. Itulah lebaran, itulah Indonesia.......

Setelah berjalan 1 jam lebih dikit, sampailah kita di Majenang. Ua Euis danm Ua Muhyiddin turun disini. Salam untuk Bi Oyah ya.....

Perjalanan dilanjutkan tinggal bertiga, istri, Enca dan aku. Tujuan berikutnya adalah Purwokerto, rumah kakaknya istri. Udah masuk tahun ke 3 atau 4 dia tinggal disitu. Dia buat radio FM disana dengan nama “Suara Purwokerto FM”. Karena memang didirikannya masih baru, jadi masih berkutat dengan kesulitan, belum lagi katanya pasar di Purwokerto tidak seperti pasar di wilayah lain ditambah dengan kondisi belanja iklan tahun 2008 ini yang sebahagian besar diambil media TV, repotnya lagi TV lokal sekarang sudah banyak, bahkan di Purwokerto sudah ada 2 dan tarif iklannya lebih murah dari radio. Gila kan, betapa sulitnya sekarang bisnis radio? Memang, kehidupan tambah sulit sekarang ini, apalagi ada krisi keuangan global yang dipicu dari kegagalan sistim kapitalis Amerika. Wah, kacau.....

Perjalanan ke Purwokerto bisa dikatakan aman dan lancar, sesuai perkiraan. Saat berangkat dari Ciamis, kita berharap Jum’atan sudah sampai di Purwokerto walaupun kita di jalan nggak ngebut. Dari yang sudah-sudah, perjalanan Ciamis – Purwokerto itu makan waktu antara 2 sampai 3 jam, jadi kalau berangkat jam 07:30 akan sampai di Purwokerto selambat-lambatnya jam 10:30, jadi sempat Jum’atan di Purwokerto.
Lancarnya jalan ke Purwokerto ikut membantu tercapainya target kesana. Sempet dijalan berenti dulu, minggir sebentar, jajan cendol dawet ayu, khas kebumen. Dari awal, kita mau coba lewat jalan lain ke Purwokerto-nya, masalahnya yang hanya kita tahu jalan ke Purwokerto itu masuk dari lampu merah di daerah mana itu, aku nggak tahu, pokoknya nantinya lewat gunung gunung yang dipinggir jalannya banyak orang yang mungutin duit dari orang-orang lemparin duit dari mobilnya. Sebelum mencapai lampu merah tersebut, ada tulisan di jalan : Purwokerto kearah kiri, langsung kita belok. Dari situlah kita tanya-tanya, takut nyasar. Sempet uga sih didalam kota Purwokerto telepon dia untuk minta di guide, tapi akhirnya jam 10:30 sampai juga deh di Purwokerto, di studio radio “Suara Purwokerto FM”.

Aku agak lama juga nggak ketemu dia, tahun 2005 terakhir ketemu waktu pulang lebaran dari Klaten. Memang kelihatan belum normal banget kondisinya, kelihatan dari cara jalan dan bukain/dorong pintu besi yang berat. Mudh-mudahan dengan kesabaran dan tawakal, ALLAH akan mengembalikan kesehatannya. Amin....

Studionya sederhana, terletak di lantai 3. Di studio ini kulihat hanya ada komputer 2 biji, mike dan beberapa gantungan kertas, untuk dibacakan barangkali, lainnya aku nggak tahu karena memang asing dengan peralatan pemancar radio. Antena menjulang di depan setinggi +/- 30 meter yang tersusun dari kerangka besi yang ditumpuk-tumpuk di tunjang oleh tali-tali kawat yang diikat kemana-mana. Katanya pernah waktu musim hujan lalu antena ini tumbang! Untungnya tidak ada korban jiwa, tapi hasilnya sekarang ini jadi trauma, sebentar lagi musim hujan, musim angin lagi.....

Saat kita datang, radionya lagi relay Elshinta Jakarta, jadi bisa ditinggal-tinggal ngobrol. Ternyata simpel yan pemancar radio itu, ngak ribet. Dulu, kupikir pemancar radio itu rumit, banyak alat ini dan itu, harus ruangan tertutup dan persyaratan lain yang njelimet, ternyata dengan sesederhana itu radio bisa on dengan baik, tinggal jangkauannya aja yang diinginkan, jauh atau dekat, tergantung kita maunya apa.

Purwokerto - Klaten

Rencananya dia akan ikut kita bareng ke Klaten mengingat dianya nggak ada kendaraan dan kondisi fisik yang tidak 100 % fit. Baru saja dia “sembuh” dari stroek setelah dideritanya cukup lama, udah bisa jalan lagi sekarang walaupun masih agak diseret-seret. Ternyata yang berangkat cuman dia sama Dinda anaknya, sang istri tidak ikut karena studio nggak ada yang jaga. Karena Masjid agak jauh dari situ, akhirnya kita memutuskan shalat Jum’atnya dijalan saja sambil lewat. Gurame goreng ditinggal disini satu sebagai oleh-oleh.

Berangkat jam 11:00, berlima. Kali ini jalan yang akan ditempuh keluar Purwokerto adalah jalan yang lewat gunung-gunung itu. Kurang lebih 24 km untuk sampai ke jalan “selatan” yang menuju ke Jogja. Setelah berhenti sebentar masih di dalam kota karena Enca beli pulsa, kita langsung lanjut menuju ke gunung itu setelah sebelumnya berhenti lagi untuk shalat Jum’at. Kirain khutbah Jum’at mau pake bahasa jawa, ternyata pake bahasa Indonesia, jadi aku ngerti apa yang didakwahkan. Mobil diparkir di komplek kantor kepolisian, nggak tahu dimana tuh, yang jelas belum naik gunung.
Lepas Jum’atan kita cari rumah makan untuk ngisim perut yang terasa lapar. Rumah makan Padang, warteg atau apapun yang ada kita akan mampir. Sampailah kita disuatu tempat, masih sebelum gunung, yang tempat parkirnya agak luas. Makanan khas Kebumen katanya. Masuklah kita, cari-ari tempat duduk yang enak walaupun saat kita masuk, cuman kita doang yang ada, kosong. Setelah dapat tempat duduk yang dirasa enak, si pelayan rumah makan bilang, makannya cara prasmanan, ambil sendiri katanya. OK....
Pilih sendiri, ada irisan gurame goreng, lele goreng, ceplok telor, sayur tahu yang mengkilat airnya, lalap, mendoan, tempe goreng dan lain-lain pokoknya. Ngiter deh kita cari yang disukai, aku makan pilih tempe goreng, sambal goreng kentang dan tahu anmil 4 biji. Tapi disinilah aku mendapat “malapetaka kecil”, karena salah pilih dan lupa akan pantangan. Makan berlima dengan perut kenyang, tapi tarif makannya murah banget, cuman abis dibawah Rp. 50,000, Bayangin!

Setelah +/- satu jam disini, perjalanan dilanjut ke Klaten. Nah, mulai deh perjalanannya sulit, mulai antri, ngerayap sampai ke Wates! Bis, angkot, kendaraan pribadi dan ....motor tumplek plek di jalan. Di Gombong Rushnya disenggol kijang butut, itu srikandi keluar sambil sewot, kalau mampu itu sopirnya ditelen kali ama dia. Untungnya nggak apa-apa, cuman emblim (logo) Toyota-nya aja yang nempel di “konde” belakang copot, tapi masih bisa ditempelin lagi.

Di Kutoardjo sempet beli bengkuan, Rp. 10,000.- 3 iket. Lumayan bakal rujak aku, aku kan menunya makan rujak tiap hari, maksudnya makan buah-buahan, tapi karena kalau dimakan telanjang begitu takut bosan, maka suka dibuatin bumbu rujak supaya lancar. Murah juga bengkuangnya, banyak ternyata 3 iket itu. Makannya dicampur mangga yang tumbuh dihalaman rumah Klaten, kebetulan lagi musim.
Mulai sekitar Purworejo, tangan kanan mulai terasa kaku, sakit banget. Digerakin sedikit saja sakit. Kenapa sih ? Aku pikir-pikir, abis ngapain aku, rasanya nggak ngapa-ngapain, koq begini ? Anehnya sakitnya kalau digerakin dengan menekuk atau dilurusin. Digoyang kiri ke kanan is no problem, kenapa ya ? Repotnya, kalau tangan jatuh dari stir ke kaki, udah nggak bisa lagi diangkat pegang setir lagi, harus ditolong tangan kiri untuk menaikannya kembali ke stir. Tambah lama tambah parah. Sampe di Klaten nyetirnya tinggal sebelah, pake tangan kiri doang. Duh.... Begitu sampae jam 19:30, langsung sholat, tiduran dan istirahat. Tangn kanan udah hampir “pensiun” dari aktifitas biasa, menyulitkan. Dipikir-pikir kenapa begini, oh ternyata..............karena makan tahu! Itulah yang kumaksud “malapetaka kecil”. Sudah kedua kali ini gara-gara makan tahu, asam uratku kumat secara spontan. Di menu yang ditulis dokter memang makan tahu hanya diizinkan hanya 50 gram sehari, itu kan berarti hanya 1 buah! Nah siangnya aku makan 4 buah.... Kalau sakit begini, bagaimana nanti kalau mau pulang? Aku khawatir kalau istri yang bawa, ini kan jalan diluar kota bukan dalam kota, situasinya lain, ganas !

Mbak Watty langsung telepon kakaknya yang di Jatibarang, resepnya ternyata seperti yang beberapa bulan aku minum, ramuannya nanti aku posting tersendiri. Saat aku minum itu di Klaten, aku hanya tidak ingin mengecewakan istri saja yang sudah susah-susah telelpon ke Jatibarang, aku minum biasa saja tanpa harapan bisa sembuh toh aku juga bawa obat dokter untuk obat asam urat. Ajaib, dalam waktu 2 hari a 3 kali sehari, eh ALLAH memberi kesembuhan aku melalui ramuan tadi. Alhamdulillah, aku bakal bisa pulang dengan wajar.

Rumah Klaten ternyata belakangnya sudah dibuat 3 kolam besar untuk pelihara ikan lele, waktu lebaran itu ada 1 kolam yang baru kurang lebih 4 atau 5 hari diisi anak lele, yang dua lagi belum. Kolam yang satu hanya diisi air dan yang satu lagi malah kosong nggak diisi apa-apa, bocor katanya. Waktu mau diisi lele, dasar kolam diisi pupuk kandang. Entah karena itu atau karena hal lain, dari 70 kilo anak lele yang diisikan, tiap hari ada anak lele yang mati, katanya kalau dikumpulin mungkin lebih dari 5 kilo yang mati. Air kolam disupply dari sumur bor yang sengaja dibuat disamping kolam, besar katanya airnya, maklum disitu kan pohon-pohan masih rindang, jadi debit air nampaknya nggak masalah, terbukti dengan pembuatan kolam renang di rumah boss Mujaeroni yang airnya dari sumur bor.

Praktis, selama libur di Klaten aku nggak kemana-mana. Tangannya sakit nggak bisa digerakin. Ada sms dari pak Ari Hartanto Bintara juga yang diminta untuk mampir, aku nggak bisa penuhin, sementara istri memuaskan keinginannya pergi ke pasar Bringharjo dengan leluasa. Kayaknya kalau pergi ke Joga tanpa mampir di Bringharjo dia merasa tidak lengkap.... Siangnya hari minggu, Pakle Kardi dari Magelang datang bersama anak menantunya sekeluarga yang dari Palembang.

2 comments:

Herli Salim said...

Salam baktos miwah hormat kanggo sadaya keluarga besar Ua H. Nawawi. Neda hapuntena wilujeng Lebaran.

urang kertasari said...

Ditampi, sok ramekeun deui atuh rorompok dunya maya teh nya...