Wednesday, October 22, 2008

Mudik Lebaran

Hari ini, Selasa 30 September 2008 adalah hari terakhir bulan suci Ramadhan 1429 H. Setelah 29 hari berpuasa, mudah-mudahan ikhlas dan berserah diri, hari ini adalah hari terakhir kita bersama bulan yang sangat dinantikan ini. Sedih sih, ada perasaan itu terselip di dada. Rasanya koq sebentar sekali, tahu-tahu bulan yang dinantikan ini akan cepat berlalu. Masih bisakah aku ketemu dengan bulan ini tahun depan ? Ya ALLAH, mungkinkah aku dapat bertemu kembali dengan bulanMU yang suci ini, yang penuh dengan banjirnya pahala? Betapa tidak, ibadah sunat dibayar dengan pahala wajib, wajibnya sendiri dibayar dengan pahala berlipat-lipat....

Yang lebih menyesakkan hati lagi, justru di periode ke 3 terakhir, maksudnya 10 hari terakhir, rasanya ibadahku menurun! Duh....kenapa ya? Tahu sih, bahwa itu sedang menurun, kenapa tidak diperbaiki? Kayaknya syetan berhasil menguasaiku, rasa enggan kadang menyergap bila mau melakukan ibadah. Yang jelas, dalam 20 hari puasa (2 periode atau 2 masa), 2 x aku khatam Al Qur’an, rata-rata 1 hari dapat 3 juz. Dalam masa ke 3, aku hanya bisa menyelesaikan 6 juz! Konyol.... Ya ALLAH, ampuni aku....

Hari ini adalah hari keberangkatan mudik aku bersama keluarga. Agak istimewa mudik sekarang ini sebagaimana istimewa mudik beberapa tahun silam. Hari ini mudik pake mobil baru, Toyota Rush, jenis SUV ber cc kecil (tapi berbadan SUV biasa) dari Toyota. Baru 1 bulan lebih dipake. Penyerahan dari dealer Toyota pake tanggal yang unik, penyerahannya tanggal 08-08-08, unik kan ? Tahun 2004 lalu pake mobil baru Avanza, juga baru 1 bulan lebih dipakai. Tahun berikutnya tahun 2005 pake mobil baru lagi, Kijang Innova, lucunya lagi baru 1 bulan lebih juga dipakainya! Lumayan, performa Rush juga nggak mengecewakan, tenaganya cukup besar walau hanya 1500 cc, katanya engine-nya sama dengan engine Avance yang 1500 cc. Rush ini kita ambil yang manual, soalnya kalau mau yang matic kudu ngerogoh kantong 14 juta lagi. Larinya boleh juga, cuman body-nya saja yang agak enteng. Rush nya ambil warna hitam, sama seperti SUV yang satunya, jadi dua-duanya hitam. Konsumsi bahan bakarnya boleh dibilang lumayan irit, bisa 1 liter berbanding 12 km kalau keluar kota (tanpa macet). Jadi kalau ke Klaten yang berjarak 650 km hanya perlu 55 liter, itu sama dengan cukup 1 kali isi saja, full tank.

OK, rencananya kita ke Ciamis dulu sebelum kita ke Klaten. “Perabot” yang kubawa adalah Laptop berikut Wimode-nya. Ingin kujajal apakah Esia sampe di Ciamis atau Klaten sekalian sebagai teman dan cek email, siapa tahu ada yang penting untuk dilihat. Di Ciamis, seperti telah ditetapkan pertemuan keluarga setahun sebelumnya, adalah tempat kumpul keluarga besar MA Nawawie untuk lebaran 1429 H ini, dirumah Ua Een. Pertemuan akan diadakan pada hari kedua, artinya tanggal 2 Syawal 1429 H atau Kamis, 2 Oktober 2008. Setelah sebelumnya di confirm, Insya ALLAH semuanya akan dapat hadir pada pertemuan tersebut. Pertemuan ini, yang seterusnya akan diadakan, mengambil momentum Lebaran, disamping ber-halal bi halal juga dipakai untuk bersilaturrahim antara semua keluarga besar MA Nawawie.
Sejak meninggalnya Ibuku tercinta, kegiatan ini wajib rasanya dilakukan mengingat kita telah berpencar ke delapan penjuru angin. Bila ini tidak diadakan atau tidak dipaksakan, khawatir kita akan jadi jauh karena sulit untuk berkumpul secara utuh dalam satu waktu. Tempat pertemuan silaturrahim diadakan urut menurut silsilah keluarga, dari yang paling sulung turun ke bawah. Tahun lalu diadakan di rumah Ua Lilih di Pondok Gede.

Alhamdulillah, kayaknya mudik kali ketiga ini kita ambil waktu yang tepat. Maksudnya, mudik ketiga ini tidk dipertemukan dengan jengkelnya macet-macetan di jalan. Setelah nonton di TV bahwa macet jalan raya sejak hari H-5 yang cukup panjang, baik lewat utara maupun selatan, aku berfikir, apakah aku juga akan menemui hal yang sama ? Bayangkan, saking macetnya, Jakarta – Cirebon ditempuh dalam waktu 17 jam yang biasanya cukup dengan 4 jam! Belum lagi ke Ciamis, biasanya 3 sampai 4 jam, ditempuh dalam waktu 12 jam.

Kita berangkat berempat, aku, istri, Enca sama Ua Lilih. OQ nggak ikut karena alasan masih kerja. Ua ikut aku karena Ua Fe’i sama Ang Ade dan Teh Neneng akan berangkat pada hari H selepas shalat ‘Ied. Pagi-pagi sekali sudah didrop sama Ua Fe’i dan Ang Ade Heri ke rumah. Alhamdulillah, rupanya pilihan waktu mudik H-1 adalah waktu yang tepat. Sejak berangkat dari rumah, tidak nampak tanda-tanda heboh mudik lebaran. Begitu masuk toll firasatku mengatakan : sampai Ciamis jalan akan seperti ini, lancar. Ternyata betul! Berangkat jam 06:00 pagi, tapi sempet baik lagi karena waktu sampai di Metropolitan Mall, Enca bilang bahwa Charger HPnya ketinggalan. Praktis baru jam 06:30 kita berangkat, sampai di Ciamis jam 10.45. Yang seru Ua Fe’i, berangkat hari H, kirain mau kosong, wah nggak tahunya kayak H-3 atau H-2. Kusut! Sementara kita di jalan tidak menemui kendala, cuman di Tasik aja Ua Lilih rada takut gara-gara aku sedikit panas saat ada mobil Gran Max tanpa sopan nyelip didepan. Aku kejar dia, rupanya Ua Lilih sama istri khawatir, takut kecelakaan. Untung aku reda......

Sampai di Ciamis, ada beberapa spanduk yang memberitahukan bahwa pada H+1 Mamah Dedeh akan hadir dalam suatu kenduri di Masjid deket Ua Een dan Endang suami Euis jadi panitia disana. Lagi laris Mamah Dedeh.... Kerabat yang sudah datang duluan adalah Yati dan Emma adikku, mereka datang malam sebelumnya. Nikmat, bener nikmat kalau ketemu saudara kandung itu walaupun sebelumnya misalnya kita dihalangi dengan bermacet ria yang parah, namun begitu ketemu sama semuanya, rasa jengkel dan cape hilang seketika, entah kenapa. Kayaknya hubungan emosional yang berperan. Nikmat....
Rumah Ua Een sudah siap menampung kita semua, maklum disamping rumahnya yang besar juga ditambah dengan rumah ke 3 anaknya yang berhadap-hadapan, rumah Euis, Ai dan Asep yang ketiganya cukup besar juga. Rumah Euis jadi tempat kumpul para bujang-bujang sementara rumah Ai tempat kumpul para cewek-cewek yang masih imut. Bujang-bujang itu adalah anaknya Euis ada 2, Anak Ai 1, anakku 1, anak Nunung 2, belum Ang Herri yang kadang gabung disitu. Anak ceweknya adalah anak Euis 1, Ai 1, Asep 1 sama anak Emma 1.

Jadi soal penginapan tak jadi masalah, lain soal kalau giliran pertemuan di Bekasi, mau diapakan kerabat segitu banyak sementara rumahnya cuman seuplik? Mikirnya nanti aja deh masih 2 atau 3 tahun lagi. Enca yang biasa nempel terus ke ortunya sekali gabung ke bujang-bujang langsung kaclep nggak pernah nongol-nongol ke kita lagi. Paling-paling nongol hanya untuk tanya sesuatu saja. Sayangnya karena memang belum musim penghujan, soal kebutuhan air yang rada sedikit mengganggu. Kadang nggak ada air ! Tapi ada untungnya juga lebaran lebaran kali ini, karena masih belum musim hujan, jadi suasana bisa lebih ceria tanpa harus ngurung terus dirumah karena hujan dan becek. Terima kasih ya ALLAH.

Saat senggang, kucoba nyambung internet, tapi rupanya Esia nggak sampe ke Ciamis. Jadi untuk sementara, laptopnya nganggur, siapa tahu di Klaten bisa berfungsi.

Silaturrahim

Seperti diceritakan diatas, silaturrahim ini diadakan setelah ibuku tercinta wafat. Adalah sangat sulit untuk mengumpulkan semuanya dalam satu saat yang sama tanpa ada sosok pemersatu. Ibu sebagai sosok pemersatu telah tiada, siapa lagi tokoh yang akan menggantikan beliau ? Itulah sebabnya ajang silaturrahim ini (harus bin wajib) diadakan, setidaknya setahun sekali dengan mengambil tempat secara bergiliran sesuai urutan silsilah keluarga. Aku rindu sekali untuk berkumpul saudara kandung, nikmat. Cerita-cerita kehidupan sehari-hari, guyon sampai urusan serius terjadi disitu. Kalau sudah kumpul, apalagi saat ibu masih ada, suka lupa waktu. Tanpa sadar tempat kongkow berpindah, dari ruang tengah, depan sampai dapur kadang-kadang ceritanya nyambung tapi tanpa sadar tempatnya sudah bergeser! Lucu kan ? Saat-saat itulah yang paling sulit dicari padanannya. Betapa tidak, kita ketemunya juga setahun sekali, itupun kalau nggak ada halangan.

Lebaran kali ini tempat yang kebagian jadi tuan rumah adalah tempat Ua Een. Syukur, beberapa saat sebelumnya sawahku di Lakbok panen, jadi lumayan bisa disisihkan untuk makan kita rame-rame. Para cucu sudah saling rangkul, walaupun cucu Ua Een dari Euis dan Ai setiap hari ketemu, tapi tak urung saat lebaran ini (mungkin) lain, namanya lebaran. Ada suasana berbeda. Apalagi ditambah Maya anak Emma bergabung, rame deh.... Para cucu dan keponakan yang bujang-bujang bukan main banyaknya, mereka kumpul dirumah Euis sambil main PS2.

Ua Munir, tuan rumah, mengusulkan untuk pergi ke makam diundur saja bukan seusai shalat ‘Ied mengingat belum kumpul semua “warga”nya. Ua Fe’i dan Ua Euis, mereka akan datang sore harinya setelah ‘Ied di tempatnya masing-masing. Ua Euis di Dayeuhluhur dan Ua Fe’i di Jakarta. Saat malam takbiran, kita ngobrol rame-rame, aku, Yati, Ua Lilih, Ua Een, Ua Munir dan para anak dan mantu. Esoknya, “para pendatang” melaksanakan sholat ‘Ied di Kertasari sementara tuan rumah di Cintapalah. Sedih lihat rumah di Kertasari, kosong, sepi dan dingin. Kayak angkuh gitu, mungkin dia marah sama kita-kita karena kita nggak tidur disitu. Lagian kayak agak kusam lagi karena memang sudah setahun lebih tidak dihuni. Sebenernya ingin sekali aku beli rumah itu tapi nggak punya dana lebih. Kalau aku beli nantinya aku nggak punya duit lagi bakal buat usaha.

Tak banyak temen yang aku jumpai di Masjid, hanya satu dua. Kangen juga sih kalau ada.....Seusai sholat ‘Ied, sewaktu mau pulang, ternyata di depan rumah banyak orang. Siapa dan ada apa ? Hey, ternyata para Bibi dan sepupu yang sengaja menunggu kami untuk berlebaran! Ada Bi Enok Mukalam berikut anak, cucu dan menantu, Bi Neneng Desa juga demikian. Setelah berlebaran, saling memaafkan, kami bubar ke rumah masing-masing. Yang sedih, kita pulang ke Cintapalah, tidak stay di Kertasari. Ibu, maafkan kami....
Pulang sholat ‘Ied, seusai pada makan pagi, kita semua pergi ke makam Dhany, anak Ua Een/Ua Munir yang meninggal 16 tahun lalu karena kecelakaan lalu lintas. Dia anak yang aktif, pintar dan ganteng. Hobby-nya hiking.... Karena tempatnya deket, kami berangkat rame-rame jalan kaki. Rupanya disana ada lahan bekas Ua Munir melihara ayam negeri untuk diambil telornya.

Ada kejadian “kecelakaan” sedikit yang menimpa Ua Lilih. Setelah jalan agak jauh (setidaknya bagi Ua Lilih), rupanya cukup memakan energy juga, makanya saat naik tangga undak-undakan beton, kaki kanan si Ua kejeduk badan tangga yang pada ujungnya membuat kaki kanannya terkilir. Untungnya saat pulang belum begitu terasa sakitnya. Rasa sakit dan timbul bengkak muncul saat sore hari, jalan jadi susah, diseret-seret. Kasihan Ua. Malamnya, dipanggil tukang urut. Kebetulan, tukang urutnya sudah berpenglaman, sekali urut kayaknya si Ua mendingan, sakitnya berangsur hilang, tinggal bengkaknya saja.
Makan siang disuguhin ikan Gurame, rendang sapi, sayur pepaya, lontong atau ketupat yang masih tersisa. Karena rame banyak orang, nikmat sekali rasanya, kalau nggak takut cholesterol, mungkin segala dimakan deh...

Sorenya rombongan Ua Fe’i datang, katanya muacet banget di Nagreg. Total perjalanan makan waktu 8 jam. Anggota rombongan, Ua, Ade Herri, Enun, Ata dan Teh Neneng. Menjelang Maghrib Ua Euis datang dianter ponakannya, anak Onah. Suasana jadi rame karena Ua Euis, biasa, ngoceh terus ceritain ini dan itu. Tidur baru terjadi lewat jam 23.00. Tinggal Ua Cecep yang belum datang, katanya sih mau datang. Suasana tambah rame. Setelah dihubungi via telepon, katanya Ang Cecep nggak bisa ikut hadir, sakit katanya. Sayang, pertemuan silaturrahim ini tidak lengkap jadinya. Belakangan diketahui, dia lagi terbujur di tempat tidur karena sakit. Dia akhir-akhir ini mengeluh sering sakit, kayaknya sakit yang berhubungan dengan jantung. Kabar dia sakit didapat dari Ua Fe’i yang waktu pulang kembali ke Jakarta lewat Cikamurang, Ua sekeluarga sempat mampir ke Talaga.

Esoknya, pagi-pagi kita ke makam Apa dan Ibu tercinta, Ua Munir yang memimpin tahlil dan do’a di makam. Naik ke makam kita lewat jalan memutar karena jalan masuk yang biasa digembok. Kupikir sombong juga orang yang punya tanah makam ini, biasanya juga boleh tapi kali ini seolah olah dilarang keras. Padahal kalau diruntut dari silsilah, dia itu masih saudara sama ayahku. Ya sudahlah.... Selepas dari makam, kita berlebaran ke rumah Bi Neneng atau Nini Bageur di depan Kodim, anak-anaknya yang diluar kota belum ada yang datang, katanya besok, jadi kasihan saat lebaran masih sepi. Lanjut ke rumah Bi Enok di Mukalam, disini lain, semuanya sudah kumpul semuanya, termasuk yang di Medan. Yang tidak hadir hanya satu, anaknya yang tinggal di Australia, tapi ketidak hadirannya bisa diwakili oleh 2 anaknya yang sekolah di UGM dan ITB.

Sudah lama sekali tidak bermukim di tempat yang kiri kananya tumbuh pohonan yang bila bangun tidur terdengar gemericik air pancuran di kolam. Duh....
Tidur di Cintapalah membangkitkan kenangan itu, betapa sejuknya, betapa enaknya. Ada sih suara pancuran gemericik air di rumah Bekasi, tapi tidak menggantikan suara aslinya di kolam, bagaiamanapun itu suara alam yang asli, tak tergantikan... Belum lagi suara kokok ayam waktu membangunkan malam, embun pagi yang tebal, dan suasana yang hening menyambut pagi. Yang hilang dari masa lalu adalah hilangnya penjual kayu bakar yang dipikul subuh-subuh. Aku ingat, sebelum beduk subuh berbunyi, ibu sudah berdiri dipinggir jalan nyegat tukang kayu bakar, aku lupa berapa harga sepikul kayu bakar. Biasanya, selain tukang pikul kayu bakar, ada juga tukang penjual bambu, ada yang dipikul atau ada juga yang pake gerobak. Atau kadang-kadang tapi sangat jarang, tukang jual bilik / gedek. Cara jualnya kadang lucu, dia memikul gedek dengan cara dilengkukkan sehingga membentuk huruf U sementara dianya sendiri ada didalam lekukan tersebut sehingga bila berjalan pikulannya, tukang bilik tersebut tidak kelihatan. Bisa dibayangkan beratnya beban yang dibawa, tapi toh mereka tetap lakukan juga demi menghidupi anak istrinya. Berat banget ya ?

Subuh-subuh berangkat ke Masjid bareng Ua Munir, Ua Fe’i dan Ua Muhyiddin. Masjidnya deket rumah, jadi sebentar saja sampai. Seperti Masjid di Kertasari, sebelum masuk Masjid kita dihadang kolam yang sengaja dibuat, pinggirnya dibuat cetek hanya cukup sampai mata kaki sehingga bila kita masuk Masjid, dipastikan kaki kita telah basah oleh air kolam dan kaki kita telah bersih untuk menginjak lantai masjid.

Isi pertemuan silaturrahim

Setelah pulang dari makam dan berlebaran dengan Nini bageur dan Nini Enok, pertemuan silaturrahim dibuka sekitar jam 10.00 pagi. Jadi yang hadir pada pertemuan itu ada 7 keluarga :
1. Ua Fe’i sekeluarga. Yang ikut hanya Ade Heri dan Neneng saja. Nina, Iwan dan Agus tidak bisa ikut karena ada halangan. Iwan tidak bisa karena istrinya tugas terbang ke China, Nina karena suaminya piket di kantor kelurahan dan Agus karena Omanya menjadi sesepuh yang ada dalam clan-nya sehingga hari H harus stay di rumah.
2. Ceu Een, tentu saja semuanya hadir.
3. Ceu Euis datang beserta Kang Emuh. Nggak ada yang ikut, maklum jauh di Malang. Teteh lagi sekolah lagi di Jogja untuk S3-nya, Apip lagi bersiap mau ke States dan Elsa punya anak kecil, repot.
4. Aku datang hanya bertiga, aku, istri sama si kecil Enca. OQ nggak ikut karena waktu berangkat masih dinas dan rencananya hari Jum’at, 3 Syawal masuk kantor yang baru.
5. Yati datang berikut Yangyang dan Sansan. Lingling lebaran di Lampung, Fangfang lagi kumat penyakit kanak-kanaknya.
6. Yayah datang utuh seluruhnya
7. Nunung tidak ada wakil, Mang Dudin tugas di Pangandaran dan anak-anaknya merasa belum saatnya kumpul bareng para orang tua
8. Ema juga sekeluarga datang
Berhubung aku adalah anak laki-laki satu-satunya, Ua Fe’i minta aku yang buka pertemuan ini. Setelah do’a pembuka dibacakan, aku mereview atau lebih tepatnya membacakan hasil pertemuan sebelumnya di Jakarta di rumah Ua Fe’i. Namun karena tidak ada tertulisnya, aku berusaha mengingat-ingat isi apa saja yang telah dibicarakan waktu itu.

1. Soal penjualan rumah Kertasari

Sejak aku menundurkan diri dari kesediaan membeli rumah tersebut, harga jual telah ditetapkan nilainya. Jumlah tersebut adalah net, tidak disebutkan lagi potongan ini dan itu, pokoknya jumlah tersebut adalah jumlah net yang harus diterima.
Pernah sebelumnya, waktu itu kurang lebih bulan Agustus 2008 lalu ada tetangga di Ciamis yang datang ke rumah, katanya sih dia minat untuk membeli rumah tersebut. Datangnya saja rada ditutup tutupi, malah katanya jangan sampai kakakku yang di Pondok Gede tahu akan kedatangannya. Tujuannya cuman satu : nego!
Aku katakan sama dia, akan menjadi percuma jauh-jauh datang dari Ciamis untuk bernego sama aku, karena aku bukanlah penentu jual tidaknya rumah tersebut (mungkin sangkanya siapa tahu aku bisa diajak damai dengan harga yang dia tawarkan karena menurut dia akulah pemegang kunci penentu!) Aku katakan, rumah itu milik kami bersembilan dan kami sudah sepakat rumah akan dilepas dengan harga yang telah ditentukan. Datang ke siapapun akan mendapat jawaban yang sama karena ini adalah kesepakatan bersama. Tidak akan satu orang menyetejui untuk kemudia disampaikan ke saudaranya yang lain bahwa harga telah disetujui sekian tanpa berunding dulu sebelumnya.
Dalam pertemuan silaturrahim ini, disepakati bahwa harga jual tetap sekian tidak dirubah walaupun sebagian orang menilainya terlalu mahal. Tak soal, biar saja. Siapa tahu salah satu diantara kita ada yang mampu membelinya sehingga rumah tersebut tidak jatuh ke orang lain.

2. Soal anak Nunug yang sulung, Ari.

Bi Yayah dan Ua Een diserahi tugas untuk menanyakan ke Ari tentang status sekolah dia yang katanya sedang menyusun skripsi. Kita khawatir dia berbohong, padahal dia sudah drop out tapi dia ngaku belum. Kejelasan yang diharapkan dari Yayah dan Ua Een tentang dia diharapkan kita dapat tahu apa yang seharusnya kita buat untuk dia. Kasihan, setelah ibunya tiada, anak-anak ini dua-duanya seperti anak ayam yang kehilangan induk. Bila ditanya, dia selalu menghindar, jadinya kita tambah yakin bahwa dia menyembunyikan sesuatu dari kita, sementara ayahnya agak acuh ke mereka. Katanya sih, anak-anak itu kalau diajak bicara belum apa-apa sudah pada sewot. Mungkin sewotnya anak-anak itu karena ayahnya pacaran sama cewek yang mereka tidak setuju. Saat ini Ari jadi luntang lantung saja dirumah, tanpa ada kegiatan lain, kasihan. Jangan sampai, ibunya tiada, anaknya terlantar. Beruntung adiknya masih semangat untuk sekolah yang saat ini menjadi mahasiswa baru di Unsud Purwokerto.

3. Soal next silaturrahim.

Bubar pertemuan, Boss Endang, suami Euis buka panggung Karaoke di depan rumahnya. Saat kami pertemuan, musik sudah mengalun dari organ Yamahanya, kirain itu Endang sendiri, nggak tahunya Ade Heri yang mainin. Eh bisa juga dia ya.....
Mulai deh berturut turut nyanyi. Kebetulan siang itu barus selesai acara tampilnya Mamah Dedeh di dekat Masjid besar deket rumah. Mamah Dedeh manggung di tempat ponakannya yang nyunatin. Lagi laris tuh Mamah Dedeh, dia tampil dimana-mana.
Setiap orang suruh nyanyi, akupun disuruhnya, tapi karena nggak ada text-nya aku urung untuk ikutan nyanyi. Akhirnya yang nyanyi dia sendiri diiringi pemusik Ang Ade Heri, paling-paling selingannya Eneng yang nyanyi. Kita nggak tahu deh, tetangga keberisikan apa nggak mengingat soundnya kayak orang lagi hajatan, kenceng banget.
Silaturrahmi berikutnya di rumah Ang Cecep seharusnya, tapi karena dia nggak hadir, diusulkan untuk diadakan di Malang. Kita charter nanti bus yang cukup untuk mengangkut sekitar 30 – 40 orang. Berangkat dari Jakarta lewat Ciamis supaya yang Ciamis dapat diangkut sekalian. Kelihatannya akan sangat menarik.......... Belakangan baru diketahui bahwa Ang Cecep bener-bener sakit. Waktu ditengok Ua Fe’i, dia lagi terbairing di tempat tidur, katanya sakit ini disebabkan oleh dicabutnya gigi ?

Sore-sore, hampir semuanya kita pergi ke rumah Yayah di Werasari, daerah ini terdapat di ketinggian, karenanya daerah ini cukup sejuk setiap harinya. Pergi kesini dari Ciamis mendaki terus, berkelok-kelok dan jalannya kecil sehingga kalau berpapasan dengan kendaraan lain kadang-kadang perlu stop dulu salah satunya untuk memberi jalan. Karena letaknya dikaki gunung, air bukan masalah disini, uniknya, air PDAM melimpah nggak tanggung-tanggung, bahkan terbuang-buang! Seberapa borospun pemakaian air, bayarnya sebulan cuman Rp. 15,000.00! Mana bening, sejuk. Kabarnya sih itu air langsung dari mata air di gunung. Dulu sebelum dibentuk PDAM, air dialirkan melaui slang plastik dan....... tak pernah ada kran untuk stop, jadi ngalir terus, tumpah-tumpah. Saking sejuknya, istriku bilang katanya dia merasa rugi kalau berkunjung ke rumah Yayah tanpa mandi! Enak sih.... Usai maghrib, kita dijamu makan sama ikan gurame, peyek kacang dan lainnya. Kita duduk sembarang saja, ada yang diluar, di teras, ditengah rumah, wah pokoknya nyebar. Dan ternyata disitu enaknya. Makan rame-rame dan suasana lebaran setelah seharian merasa capek, makan malam begini jadi nikmat banget....

Cucu Bi Yayah dari Asep udah berumur 8 bulan, udah bisa bercanda. Main sama Ata anak Ang Ade ajrut-ajrutan sampai terpingkal-pingkal, kita khawatir setelah kita bubar dia akan sakit karena kecapean ketawa. Rumah Bi Yayah ini bentuknya memanjang karena letak tanahnya yang memanjang. Jadi rumah Bi Yayah ini hampir seluruhnya menghadap ke “jalan”. Kebetulan pula letaknya di jalan buntu, jadi tidak terganggu lalu lintas kalau toh kita duduk diluar rumah, sementara depannya rumah kaknya Mang Rahman, suami Bi Yayah. Sejuk, dingin dan hening disini, maklum tempatnya agak didalam. Tapi tinggal disini kayaknya tenang sampai-sampi istri bilang : “Pah, kita beli rumah disini, enak kayaknya, tenang” katanya. Sehabis makan malam yang nikmat, kita bubar pulang ke Cintapalah.
Bersambung.........

2 comments:

Herli Salim said...

Asyik em anu mudik, man matak waas, ngiring bingah tos aya kempelan keluarga anu rutin, kapayun 'ngimpen' tiasa kempel sababaraha keluarga...nyoreang alam katukang ...

urang kertasari said...

he..he.., alhamdilillah, nikmat bro. Aad ayuena mah gemuk nya ? mani buleud..